“HAKIKAT
PENDIDIKAN”
Orang Yunani tempo dulu mengatakan bahwa pendidikan itu
ialah pertolongan kepada manusia agar ia menjadi manusia. Apa syarat agar dapat
disebut sebagai manusia? Apa seseorang tidak mampu menjadi manusia seandainya
tidak dididik?
Arti Pendidikan Orang-orang
Yunani, lebih kurang 600 tahun sebelum masehi, telah menyatakan bahwa
pendidikan ialah usaha membantu manusia menjadi manusia. Ada dua kata yang
penting dalam kalimat itu, pertama “membantu” dan kedua “manusia”.Manusia perlu
dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan telah
menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Hal itu
menunjukkan tidaklah mudah untuk menjadi manusia. Karena itulah sejak dahulu
banyak manusia gagal menjadi manusia. Jadi tujuan mendidik adalah
me-manusia-kan manusia. Agar tujuan itu dapat dicapai dan agar program dapat
disusun maka ciri-ciri manusia yang telah menjadi manusia itu haruslah jelas. Seperti
apa kriteria manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu? Tentulah hal ini akan
ditentukan oleh filsafat hidup masing-masing orang.
Orang-orang Yunani lama menentukan tiga syarat untuk disebut
manusia.
Pertama, memiliki
kemampuan dalam mengendalikan diri;
kedua, cinta
tanah air; dan
ketiga, berpengetahuan.
Kemampuan mengendalikan diri memang penting dalam kehidupan
ini. Ini telah diketahui sejak dulu sekali. Pada abad decade 90-an (sekitar
tahun 1995) muncul buku Goleman yang menjelaskan betapa pentingnya kemampuan
mengendalikan diri tersebut. Ia menyebutnya emotional
intelligence (EI) yang sering disingkat dengan EQ (emotional
quotient) yang oleh orang Indonesia dikenal dengan kecerdasan emosi.
Goleman mengatakan bahwa EQ lebih penting ketimbang IQ (Intellegence
Quotient). Orang Yunani sejak lama telah mengetahui hal itu.
Pythagoras, salah seorang filosof besar pada zaman itu memberi isyarat pada
murid-muridnya agar murid-muridnya tidak makan kacang tanah dan ayam putih.
Katanya dua jenis makanan ini akan menyebabkan sulit mengendalikan
diri.Orang-orang zaman sekarang juga memahami pentingnya seseorang memiliki
kemampuan mengendalikan diri. Sering orang tua menasehati menantunya agar mampu
mengendalikan diri tatkala dapat uang banyak. Tatkala memperoleh kesuksesan.
Sering orang lain menasehati agar sabar; sabar adalah salah satu ciri
(indikator atau wujud) kemampuan mengendalikan diri. Banyak orang menyesali perceraiannya
karena tatkala ia mengucapkan talak cerai itu ia dalam keadaan tidak mampu
mengendalikan diri; banyak orang yang putus pertunangannya gara-gara
ketelanjuran dan itu adalah ciri kurang mampu mengendalikan diri. Banyak yang
jatuh dari tempat tinggi karena kurang mampu mengendalikan diri. Jatuh dengan
cara seperti itu akan dirasa sangat menyakitkan. Menyesal, malu dan rugi. Keterlanjuran
adalah salah satu ciri kurang memiliki kemampuan mengendalikan diri. Pepatah
lama mengatakan mulutmu harimaumu, yang akan menerkam kepalamu. Maksud
dari pepatah ini ialah banyak orang celaka karena keterlanjuran dalam
berbicara dan ia celaka oleh pembicaraannya itu. Jika orang telah mampu
mengendalikan diri, itu berarti ia telah memiliki akhlak mulia dan dengan
sendirinya cinta tanah air akan juga akan tinggi.
Cinta tanah air orang Yunani lama itu adalah dalam arti
cinta pada tempat tinggal. Konsep inilah yang menjadi cikal bakal
pelajaran civic atau kewarganegaraan yang kita kenal sekarang.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya sampai sekarang inti civic tetap
saja cinta tempat tinggal. Civic justru akan rusak jika pengertiannya
digeser dari pengertian itu. Cinta tempat tinggal; jangan merusak alam, (tidak
merusak hutan), tidak membuang sampah sembarangan, jangan mencorat-coret
tembok, jangan mengganggu ketenangan tetangga. Bila yang seperti itu terwujud,
maka kehidupan akan menjadi kehidupan yang enak. Bila konsep ini digeser,
misalnya menjadi cinta bangsa, maka bahayanya ialah chauvinism, bila
disempitkan maka akan lebih berbahaya lagi. Bila diubah menjadi cinta dunia,
maka konsep yang akan diterima terlalu luas dan abstrak. Memang yang terbaik
adalah cinta tempat tinggal. Di mana pun ia tinggal ia akan mencintai tempat
itu, sekalipun tinggal di negara orang lain.
Manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu harus memiliki
pengetahuan yang tinggi. Intinya ialah orang harus mampu berpikir benar.
Mendengar ini mungkin akan ada orang yang bertanya, apa ada orang yang berpikir
tidak benar. Banyak, orang gila misalnya. Orang yang sudah kuat secara ekonomi,
tetapi masih mencuri atau korupsi juga, jelas itu orang yang tidak mampu
berpikir dengan benar. Orang seperti itu sebenarnya sejenis orang gila, ia
orang sakit jiwa.
Orang Yunani beranggapan berpikir cara filsafat atau berfilsafat
adalah latihan terbaik untuk mampu berpikir benar. Yang di atas itu adalah
aspek pertama pendidikan yaitu tentang konsep manusia. Konsep itu masih layak
dipakai hingga sekarang. Masih bagus. (jadi, orang yang melakukan korupsi itu
tidak dapat dikategorikan sebagai manusia. Sebab apa? Watak orang yang korupsi
itu tidak mampu mengendalikan diri. Tidak sabar, ingin segera kaya. Korupsi
juga akan berakibat krisis dan malapetaka bagi bangsa. Ini akibat tidak
memiliki kemampuan berpikir yang benar, tidak punya pengetahuan.
Aspek pendidikan yang kedua adalah menolong. Mengapa
menolong, buka mencetak atau mewujudkan? Karena pendidik mengetahui bahwa pada
manusia ada potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi manusia. Pada setiap
manusia itu ada potensi untuk menjadi manusia. Tetapi, ada juga potensi untuk
menjadi bukan manusia, menjadi binatang misalnya. Teori inilah yang dapat
menjelaskan mengapa orang yang di didik itu ada yang gagal menjadi manusia.
Misalnya, ada beberapa tamatan perguruan tinggi yang punya sifat ingin menang
sendiri (ini bukan sifat manusia), ada juga orang yang sudah kaya tetapi masih
korupsi (ini juga bukan sifat manusia, walaupun kemiskinan bukan alasan untuk
melakukan korupsi. Kegagalan pendidik dalam membantu manusia menjadi manusia
itu memang ada, tetapi hanya sedikit. Pendidik berpendapat batu tidak mungkin
ditolong menjadi manusia, karena, ya itu tadi, batu tidak memiliki potensi
menjadi manusia. Dari sinilah pendidik mengetahui bahwa dalam mendidik pendidik
itu harus mengetahui potensi-potensi anak didiknya. Ini bidang psikologi;
karena itu pendidik yang baik tentu mengetahui psikologi mengenai
potensi-potensi itu. Kata “menolong” juga menegaskan bahwa perbuatan mendidik
itu hanya sekedar menolong. Jadi, pendidik jauh sebelum berbuat telah
mengetahui bahwa muridnya itu nanti akan ada yang berhasil menjadi manusia dan
ada yang tidak. Apakah pendidik salah bila ia gagal? Pendidik biasanya merasa
bersalah. Tetapi sebenarnya pendidik itu tidak bersalah. Itu hanya pembenaran
terhadap teori “menolong “ itu saja. Pendidik dapat saja gagal menolong
muridnya. Kata “menolong” juga mengkiaskan agar pendidik tidak sombong. Bila
berhasil itu adalah berkat usaha murid itu sendiri dan usaha dari orang lain
atau pengaruh dari yang lainnya, sebagiannya memang merupakan hasil dari
pendidik. Kata “menolong” juga mengajarkan kepada pendidik bahwa ia mestilah
melakukan pertolongan itu dengan kasih sayang. Kata kasih sayang sudah terdapat
dalam kata “menolong”. Tidak ada pertolongan yang kosong dari kasih sayang.
Konsekuensinya ialah pendidik tidak akan berhasil menolong bila dalam
menolong itu tidak ada rasa kasih sayang kepada yang ditolong. Kata “menolong”
juga mengandung pengertian selalu ke arah yang benar. Itu pun sudah terdapat
dalam kata menolong. Jadi, pendidik itu harus menolong murid, dan pertolongan
itu harus berisi sesuatu yang benar. Karena itulah pendidik tidak mengenal
istilah “mendidik anak mencuri atau mendidik anak berbohong”. Sebab “mencuri”
dan “berbohong” itu tidak ada dalam kata menolong. Al-qur’an menegaskan “dan
tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan”.
Sekarang banyak orang yang berharap gaji yang banyak dari
kerja mendidik. Akibatnya biaya pendidikan menjadi sangat mahal. Seringkali
orang berpikir bahwa adalah wajar jika pendidik meminta upah yang tinggi dari
kerja mendidik. Seolah dalam dirinya ia berkata, apa bedanya kerja mendidik
dengan kerja mengelas atau nyopir? Jika pekerjaan sebagai pilot meminta bayaran
yang tinggi, mengapa kerja mendidik _yang nota bene menghasilkan
pilot_ apakah tidak wajar menuntut gaji yang tinggi?. Begitulah berbagai
pertanyaan muncul yang diakui atau tidak, di belakang pertanyaan itu tersimpan
sifat kurang sayang pada murid. Sayang kepada murid dalam pendidikan dikatakan
sama dengan sayang kepada anak kandung sendiri. Itu sesuatu hal yang sungguh
tidak mungkin. Yang mungkin adalah sayang dalam bentuk prihatin, khawatir
kalau-kalau murid itu tidak berkembang menjadi manusia yang diharapkan.
Kapan pendidikan bagi seseorang dimulai, dan kapan berakhir?
Pertanyaan ini sudah lama sekali muncul di kalangan ahli pendidikan. Agama
Islam mengatakan “sejak buaian sampai liang kubur”. Para ahli pendidikan
mengatakan “pendidikan berlaku sepanjang hayat (life long education). Ahli
lain mengatakan pendidikan tidak pernah berhenti. Tiga pernyataan itu
mengandunng esensi yang sama: pendidikan berlangsung seumur hidup. Pertanyaan
lebih jauh muncul lagi, yaitu seumur hidup itu apa maksudnya? Apakah sejak
lahir sampai meninggal? Atau sejak adanya hidup. Bila sejak adanya hidup itu
berarti pendidikan dimulai sejak janin hidup di dalam rahim. Jadi ada
pendidikan prenatal dan dilanjutkan pascanatal. Satu kesimpulan saja:
pendidikan berlangsung seumur hidup dengan mengesampingkan apakah dimulai sejak
dalam rahim atau setelah lahir. Persoalannya adalah mengapa pendidikan
itu berlangsung seumur hidup. Jawaban pada pertanyaan itu terletak pada
pandangan kita tentang hakikat pendidikan dari segi lain. Tadi dikatakan
pendidikan ialah pertolongan. Segi lain menyatakan bahwa pendidikan ialah
segala yang mempengaruhi seseorang. Dari segi ini memang benar, tidak boleh
tidak, pendidikan harus berlangsung seumur hidup karena selama manusia masih
hidup ia akan selalu mendapat pengaruh dari berbagai pihak. Dari sisi lain
bahwa pendidikan ialah usaha menolong orang agar ia mampu menyelesaikan masalah
yang dihadapinya. Jadi, selama manusia masih menghadapi masalah yang harus
diselesaikan selama itu pula ia masih menjalani pendidikan, sementara itu manusia
tidak pernah tidak mengalami masalah. Jadi karena manusia selalu menghadapi
masalah maka selama itu pula ia memerlukan pendidikan.