Selasa, 14 April 2015




“HAKIKAT PENDIDIKAN”


Orang Yunani tempo dulu mengatakan bahwa pendidikan itu ialah pertolongan kepada manusia agar ia menjadi manusia. Apa syarat agar dapat disebut sebagai manusia? Apa seseorang tidak mampu menjadi manusia seandainya tidak dididik?
Arti Pendidikan Orang-orang Yunani, lebih kurang 600 tahun sebelum masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan ialah usaha membantu manusia menjadi manusia. Ada dua kata yang penting dalam kalimat itu, pertama “membantu” dan kedua “manusia”.Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia bila telah memiliki nilai (sifat) kemanusiaan. Hal itu menunjukkan tidaklah mudah untuk menjadi manusia. Karena itulah sejak dahulu banyak manusia gagal menjadi manusia. Jadi tujuan mendidik adalah me-manusia-kan manusia. Agar tujuan itu dapat dicapai dan agar program dapat disusun maka ciri-ciri manusia yang telah menjadi manusia itu haruslah jelas. Seperti apa kriteria manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu? Tentulah hal ini akan ditentukan oleh filsafat hidup masing-masing orang.
Orang-orang Yunani lama menentukan tiga syarat untuk disebut manusia. 
Pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri; 
kedua, cinta tanah air; dan
ketiga, berpengetahuan.
Kemampuan mengendalikan diri memang penting dalam kehidupan ini. Ini telah diketahui sejak dulu sekali. Pada abad decade 90-an (sekitar tahun 1995) muncul buku Goleman yang menjelaskan betapa pentingnya kemampuan mengendalikan diri tersebut. Ia menyebutnya emotional intelligence (EI) yang sering disingkat dengan EQ (emotional quotient) yang oleh orang Indonesia dikenal dengan kecerdasan emosi. Goleman mengatakan bahwa EQ lebih penting ketimbang IQ (Intellegence Quotient). Orang Yunani sejak lama telah mengetahui hal itu. Pythagoras, salah seorang filosof besar pada zaman itu memberi isyarat pada murid-muridnya agar murid-muridnya tidak makan kacang tanah dan ayam putih. Katanya dua jenis makanan ini akan menyebabkan sulit mengendalikan diri.Orang-orang zaman sekarang juga memahami pentingnya seseorang memiliki kemampuan mengendalikan diri. Sering orang tua menasehati menantunya agar mampu mengendalikan diri tatkala dapat uang banyak. Tatkala memperoleh kesuksesan. Sering orang lain menasehati agar sabar; sabar adalah salah satu ciri (indikator atau wujud) kemampuan mengendalikan diri. Banyak orang menyesali perceraiannya karena tatkala ia mengucapkan talak cerai itu ia dalam keadaan tidak mampu mengendalikan diri; banyak orang yang putus pertunangannya gara-gara ketelanjuran dan itu adalah ciri kurang mampu mengendalikan diri. Banyak yang jatuh dari tempat tinggi karena kurang mampu mengendalikan diri. Jatuh dengan cara seperti itu akan dirasa sangat menyakitkan. Menyesal, malu dan rugi. Keterlanjuran adalah salah satu ciri kurang memiliki kemampuan mengendalikan diri. Pepatah lama mengatakan mulutmu harimaumu, yang akan menerkam kepalamu. Maksud dari pepatah ini ialah banyak orang celaka karena keterlanjuran dalam berbicara  dan ia celaka oleh pembicaraannya itu. Jika orang telah mampu mengendalikan diri, itu berarti ia telah memiliki akhlak mulia dan dengan sendirinya cinta tanah air akan juga akan tinggi.
Cinta tanah air orang Yunani lama itu adalah dalam arti cinta pada tempat tinggal. Konsep inilah yang menjadi cikal bakal pelajaran civic atau kewarganegaraan yang kita kenal sekarang. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya sampai sekarang inti civic tetap saja cinta tempat tinggal. Civic justru akan rusak jika pengertiannya digeser dari pengertian itu. Cinta tempat tinggal; jangan merusak alam, (tidak merusak hutan), tidak membuang sampah sembarangan, jangan mencorat-coret tembok, jangan mengganggu ketenangan tetangga. Bila yang seperti itu terwujud, maka kehidupan akan menjadi kehidupan yang enak. Bila konsep ini digeser, misalnya menjadi cinta bangsa, maka bahayanya ialah chauvinism, bila disempitkan maka akan lebih berbahaya lagi. Bila diubah menjadi cinta dunia, maka konsep yang akan diterima terlalu luas dan abstrak. Memang yang terbaik adalah cinta tempat tinggal. Di mana pun ia tinggal ia akan mencintai tempat itu, sekalipun tinggal di negara orang lain.
Manusia yang menjadi tujuan pendidikan itu harus memiliki pengetahuan yang tinggi. Intinya ialah orang harus mampu berpikir benar. Mendengar ini mungkin akan ada orang yang bertanya, apa ada orang yang berpikir tidak benar. Banyak, orang gila misalnya. Orang yang sudah kuat secara ekonomi, tetapi masih mencuri atau korupsi juga, jelas itu orang yang tidak mampu berpikir dengan benar. Orang seperti itu sebenarnya sejenis orang gila, ia orang sakit jiwa. 
Orang Yunani beranggapan berpikir cara filsafat atau berfilsafat adalah latihan terbaik untuk mampu berpikir benar. Yang di atas itu adalah aspek pertama pendidikan yaitu tentang konsep manusia. Konsep itu masih layak dipakai hingga sekarang. Masih bagus. (jadi, orang yang melakukan korupsi itu tidak dapat dikategorikan sebagai manusia. Sebab apa? Watak orang yang korupsi itu tidak mampu mengendalikan diri. Tidak sabar, ingin segera kaya. Korupsi juga akan berakibat krisis dan malapetaka bagi bangsa. Ini akibat tidak memiliki kemampuan berpikir yang benar, tidak punya pengetahuan.
Aspek pendidikan yang kedua adalah menolong. Mengapa menolong, buka mencetak atau mewujudkan? Karena pendidik mengetahui bahwa pada manusia ada potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi manusia. Pada setiap manusia itu ada potensi untuk menjadi manusia. Tetapi, ada juga potensi untuk menjadi bukan manusia, menjadi binatang misalnya. Teori inilah yang dapat menjelaskan mengapa orang yang di didik itu ada yang gagal menjadi manusia. Misalnya, ada beberapa tamatan perguruan tinggi yang punya sifat ingin menang sendiri (ini bukan sifat manusia), ada juga orang yang sudah kaya tetapi masih korupsi (ini juga bukan sifat manusia, walaupun kemiskinan bukan alasan untuk melakukan korupsi. Kegagalan pendidik dalam membantu manusia menjadi manusia itu memang ada, tetapi hanya sedikit. Pendidik berpendapat batu tidak mungkin ditolong menjadi manusia, karena, ya itu tadi, batu tidak memiliki potensi menjadi manusia. Dari sinilah pendidik mengetahui bahwa dalam mendidik pendidik itu harus mengetahui potensi-potensi anak didiknya. Ini bidang psikologi; karena itu pendidik yang baik tentu mengetahui psikologi mengenai potensi-potensi itu. Kata “menolong” juga menegaskan bahwa perbuatan mendidik itu hanya sekedar menolong. Jadi, pendidik jauh sebelum berbuat telah mengetahui bahwa muridnya itu nanti akan ada yang berhasil menjadi manusia dan ada yang tidak. Apakah pendidik salah bila ia gagal? Pendidik biasanya merasa bersalah. Tetapi sebenarnya pendidik itu tidak bersalah. Itu hanya pembenaran terhadap teori “menolong “ itu saja. Pendidik dapat saja gagal menolong muridnya. Kata “menolong” juga mengkiaskan agar pendidik tidak sombong. Bila berhasil itu adalah berkat usaha murid itu sendiri dan usaha dari orang lain atau pengaruh dari yang lainnya, sebagiannya memang merupakan hasil dari pendidik. Kata “menolong” juga mengajarkan kepada pendidik bahwa ia mestilah melakukan pertolongan itu dengan kasih sayang. Kata kasih sayang sudah terdapat dalam kata “menolong”. Tidak ada pertolongan yang kosong dari kasih sayang. Konsekuensinya ialah pendidik tidak  akan berhasil menolong bila dalam menolong itu tidak ada rasa kasih sayang kepada yang ditolong. Kata “menolong” juga mengandung pengertian selalu ke arah yang benar. Itu pun sudah terdapat dalam kata menolong. Jadi, pendidik itu harus menolong murid, dan pertolongan itu harus berisi sesuatu yang benar. Karena itulah pendidik tidak mengenal istilah “mendidik anak mencuri atau mendidik anak berbohong”. Sebab “mencuri” dan “berbohong” itu tidak ada dalam kata menolong. Al-qur’an menegaskan “dan tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan”.
Sekarang banyak orang yang berharap gaji yang banyak dari kerja mendidik. Akibatnya biaya pendidikan menjadi sangat mahal. Seringkali orang berpikir bahwa adalah wajar jika pendidik meminta upah yang tinggi dari kerja mendidik. Seolah dalam dirinya ia berkata, apa bedanya kerja mendidik dengan kerja mengelas atau nyopir? Jika pekerjaan sebagai pilot meminta bayaran yang tinggi, mengapa kerja mendidik _yang nota bene menghasilkan pilot_ apakah tidak wajar menuntut gaji yang tinggi?. Begitulah berbagai pertanyaan muncul yang diakui atau tidak, di belakang pertanyaan itu tersimpan sifat kurang sayang pada murid. Sayang kepada murid dalam pendidikan dikatakan sama dengan sayang kepada anak kandung sendiri. Itu sesuatu hal yang sungguh tidak mungkin. Yang mungkin adalah sayang dalam bentuk prihatin, khawatir kalau-kalau murid itu tidak berkembang menjadi manusia yang diharapkan.
Kapan pendidikan bagi seseorang dimulai, dan kapan berakhir? Pertanyaan ini sudah lama sekali muncul di kalangan ahli pendidikan. Agama Islam mengatakan “sejak buaian sampai liang kubur”. Para ahli pendidikan mengatakan “pendidikan berlaku sepanjang hayat (life long education). Ahli lain mengatakan pendidikan tidak pernah berhenti. Tiga pernyataan itu mengandunng esensi yang sama: pendidikan berlangsung seumur hidup. Pertanyaan lebih jauh muncul lagi, yaitu seumur hidup itu apa maksudnya? Apakah sejak lahir sampai meninggal? Atau sejak adanya hidup. Bila sejak adanya hidup itu berarti pendidikan dimulai sejak janin hidup di dalam rahim. Jadi ada pendidikan prenatal dan dilanjutkan pascanatal. Satu kesimpulan saja: pendidikan berlangsung seumur hidup dengan mengesampingkan apakah dimulai sejak dalam rahim atau setelah lahir. Persoalannya  adalah mengapa pendidikan itu berlangsung seumur hidup. Jawaban pada pertanyaan itu terletak pada pandangan kita tentang hakikat pendidikan dari segi lain. Tadi dikatakan pendidikan ialah pertolongan. Segi lain menyatakan bahwa pendidikan ialah segala yang mempengaruhi seseorang. Dari segi ini memang benar, tidak boleh tidak, pendidikan harus berlangsung seumur hidup karena selama manusia masih hidup ia akan selalu mendapat pengaruh dari berbagai pihak. Dari sisi lain bahwa pendidikan ialah usaha menolong orang agar ia mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Jadi, selama manusia masih menghadapi masalah yang harus diselesaikan selama itu pula ia masih menjalani pendidikan, sementara itu manusia tidak pernah tidak mengalami masalah. Jadi karena manusia selalu menghadapi masalah maka selama itu pula ia memerlukan pendidikan.