Sabtu, 19 Agustus 2017


Eksistensi Pendidikan Islam di Indonesia

Pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari proses sejarah sebelumnya. Faktor utama hal ini adalah sejarah penyebaran Islam di Indonesia. Sejalan dengan proses penyebaran Islam di Indonesia, pendidikan Islam sudah mulai tumbuh meskipun masih bersifat individual. Para penganjur agama ini mendekati masyarakat dengan acara yang persuasif dan memberikan pengertian tentang dasar-dasar agama Islam.
Kemudian, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau, dan langgar mulailah secara bertahap berlangsung pengajian umum mengenai tulis baca al-Quran dan wawasan keagamaan. Namun demikian, pelembagaan khusus untuk pelaksanaan pendidikan bagi umat Islam di Indonesia daru terjadi dengan pendirian pesantren. Lembaga ini diperkirakan muncul pada abad ke-13 M dan mencapai perkembangannya yang optimal pada abad ke-18 M. Para ahli agaknya sepakat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.
Gairah ummat Islam untuk mendalami ajaran agamanya secara menyeluruh terus meningkat. Untuk tujuan ini, sebagian lulusan pesantren melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke beberapa pusat kajian Islam di Timur Tengah. Fenomena gelombang besar para umat Islam ke Timur Tengah intensif mulai dari akhir abad ke-18 M yang pada akhirnya tidak saja menambah wawasan keilmuan mereka tetapi juga menambah pengalaman dan inspirasi mereka dari gerakan modernisasi pendidikan Timur Tengah. Lulusan-lulusan pendidikan Timur Tengah pada masa itu kemudian menjadi pemrakarsa pendidikan madrasah-madrasah di Indonesia. Berbeda dengan lembaga pendidikan pesantren, yang dicontoh dari Timur Tengah itu merupakan lembaga pendidikan yang lebih modern dari sudut metodologi dan kurikulum pembelajarannya.
Pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia, dalam berbagai bentuk dan coraknya, merupakan upaya pendidikan untuk masyarakat secara terbuka. Sampai munculnya pesantren, lembaga pendidikan Indonesia sebelumnya cenderung bersifat sangat ekslusif. Pada masa pra-Islam, selain para rohaniawan Hindu, tidak semua orang dapat mengikuti pendidikan yang terlembagakan. Sedangkan pada masa penjajahan, sekolah-sekolah pada mulanya didirikan untuk kalangan bangsawan dan kaum penjajah. Baru setelah adanya desakan gerakan pencerahan dan perjuangan kalangan terdidik Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pendirian sekolah-sekolah rakyat yang lebih terbuka.
Jadi perkembangan pendidikan Islam di Indonesia berasal dari proses interaksi misi Islam dengan tiga kondisi. Pertama, interaksi Islam dengan budaya lokal pra Islam telah melahirkan pesantren. Meskipun pandangan ini masih kontroversial, tetapi pelembagaan pesantren bagaimanapun tidak bisa dipisahkan dari proses akulturasi Islam dalam konteks budaya yang dibawa penjajah. Kedua interaksi pendidikan Islam dengan tradisi Timur Tengah modern telah menghasilkan lembaga madrasah. Ketiga, interaksi Islam dengan politik pendidikan Hindia Belanda telah membuahkan lembaga dan sekolah Islam, tetapi dalam sejarah pendidikan di Indonesia kedua lembaga itu lahir dari inspirator yang berbeda: satu dari lulusan Timur Tengah modern, sedang yang lain dari gerakan yang kooperatif dengan pendidikan ala Belanda. 
Dualisme yang mengakar dan konsep ilmu dalam Islam akibat akulturasi dan pertemuan pola pendidikan Islam dengan konsep ala penjajahan, serta upaya kooperatif untuk mengatasi buta huruf di Indonesia banyak perubahan konsep pendidikan Islam di Indonesia. Namun yang ironis dan krusial masyarakat Islam Indonesia telah terbawa arus dan paradigma dualisme ilmu antara ilmu agama dengan ilmu umum. Paradigma ini yang kemudian berurat berakar sehingga konsep ilmu menjadi rusak dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Munculnya paradigma dualisme merupakan warisan kolonial yang sulit diluruskan. Bahkan dalam sejarah masa lalu dualisme ini muncul karena pertentangan antara tokoh agama di gereja dengan para ilmuwan. Pada akhirnya muncul pernyataan bahwa siapa yang mau mendalami agama ke gereja dan siapa yang mau memahami ilmu pergi ke ilmuwan. Faktor inilah yang dalam realitasnya menimbulkan pemahaman masyarakat termasuk umat Islam secara umum bahwa ilmu agama itu hanya al-Quran dan hadist dengan pengembangan yang terbatas. Adapun ilmu sains, ekonomi, seni, teknik dan politik serta humaniora bukanlah bagian dari ilmu agama.
Pemikiran seperti ini idealnya tidak dibiarkan dan mesti dikikis dari cara berpikir umat Islam. Berbagai pembaharuan pola pikir ini telah banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam mulai dari zaman dahulu sampai abad ke-21 M. Tokoh Islam masa lalu seperti al-Ghozali yang membagi ilmu hanya dari segi hukum mencarinya yaitu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu ain yang berkaitan dengan al-Quran dan hadist sedangkan ilmu fardhu kifayah seperti ilmu kedokteran, administrasi, politik dan ilmu pendidikan. Adapun tokoh abad 21 seperti Imam Suprayogo menjelaskan ilmu itu sumbernya dari ayat-ayat Allah yaitu ayat qauliyah :wahyu yang diturunkan Allah (al-Quran dan hadist) dan yang ayat kauniyah : semua ciptaan Allah yang dianalisis, teliti melalui penggunaan potensi berpikir.  Pemahaman ini selanjutnya memberikan arah kepada umat Islam bahwa ilmu apa pun merupakan ilmu berasal dari ayat-ayat Allah. Idealnya setiap yang memiliki ilmu semakin tinggi keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah serta semakin terwujud kemakmuran di muka bumi. Karena tujuan Allah memberi ilmu adalah itu kesejahteraan manusia.
Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional.
Pembahasan pada poin ini didasarkan pada tesis bahwa pendidikan Indonesia dalam konteks historis bukan pada konsep atau paradigma keilmuannya. Karena ketika bermaksud melaksanakan pendidikan untuk rakyat Indonesia diawali oleh pemerintah Hindia Belanda yang telah memilih lembaga pendidikan sekolah sedangkan lembaga pendidikan Islam masih lembaga nonformal. Jadi lembaga pendidikan Islam merupakan institusi pendidikan yang berkembang atas dasar dukungan dan kekuatan dari masyarakat sendiri. Dengan demikian, sejak saat itulah mulainya kerangka dikotomik dalam sistem pendidikan untuk rakyat Indoensia: antara pendidikan pemerintah Hindia Belanda dan pendidikan Islam. Dikotomik inilah yang pada akhirnya membuyarkan konsep ilmu Islam. Meskipun demikian, dalam perkembangannya banyak sekolah Islam yang mendapat pengakuan dan subsidi dari pemerintah, karena menggunakan sistem dan kurikulum yang hampir sama dengan sekolah pemerintah. Sementara itu pesantren pada umumnya tetap menjaga jarak dengan sistem pendidikan persekolahan, baik karena alasan agamis maupun politis.  
Pada perkembangan selanjutnya pemerintah melakukan upaya nasionalisasi untuk mengakomodir pendidikan Islam yang memang terus mengakar dan berkembang. Peristiwa ini didukung oleh UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 1989 dan sebelumnya didahului dengan SKB Tiga Menteri. Perkembangan terakhir adanya UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Perkembangan yang spektakuler dari sekolah-sekolah Islam inilah yang memunculkan beberapa nama sekolah terkenal seperti pesantren Gontor Darussalam, Maarif, Al-Azhar dan sangat banyak yang lainnya. Sedangkan di sekolah-sekolah dengan dikotomik itu terlihat pada pembelajaran agamanya. Dengan beberapa perkembangan sebagaimana digambarkan di atas, posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional dapat diidentifikasi sediktinya ke dalam tiga pengertian.
Pertama, pendidikan Islam adalah lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren, pengajian dan madrasah diniyyah.
Kedua pendidikan Islam adalah muatan atau materi pendidikan agama Islam dalam kurikulum pendidikan nasional.
Ketiga, pendidikan Islam merupakan ciri khas dari lembaga pendidikan persekolahan yang diselenggarakan oleh departemen agama dalam bentuk madrasah, dan oleh organisasi dan yayasan keagamaan Islam dalam bentuk sekolah-sekolah Islam.
Kondisi obyektif pendidikan Islam di Indonesia praktek pendidikan Islam di Indonesia sebagaimana diidentifikasi di atas mengalami pasang surut dari waktu-waktu. Namun demikian, dalam perkembangan terakhir kenyataanya menunjukkan kemajuan, setidaknya jika dilihat indikator kuantitatif. Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum misalnya berlangsung minimal 2 jam pelajaran perminggu. Bahkan banyak sekolah lainnya menambah dengan kegiatan ekstrakurikuler dan termasuk juga kurikulum muatan lokal. Selain itu di sekolah-sekolah juga diadakan paket-paket khusus keagamaan seperti pesantren kilat, dan kurikulum plus.
Adapun masalah klasik yang menjadi perdebatan saat ini di sekolah-sekolah adalah mengenai kurangnya jumlah jam pelajaran. Hal ini diiringi dengan adanya keluhan dari para guru mengenai prilaku murid atau kenakalan serta menurunnya akhlak anak. Beberapa sekolah yang kreatif mereka mencari berbagai strategi supaya kesulitan-kesulitan pembinaan akhlak anak tersebut dapat diatasi. Sehingga di beberapa sekolah ditemukan para guru dengan mensyaratkan perilaku dan lulusan nilai pengetahuan dan sikap serta praktek agama untuk dapatnya siswa mengikuti berbagai ujian.
Adapun secara kuantitas jumlah Madrasah Ibtidaiyah (MI), MTs dan MA sangat benyak peningkatan. Ini menandakan bahwa pendidikan Islam itu memiliki peningkatan yang signifikan. (Maksum:1999).
Masa depan pendidikan Islam Pendidikan Islam di Indonesia secara normatif pada dasarnya bersumber dari ajaran agama yang universal. Konsisten dengan prinsip ini, pendidikan Islam akan mampu bertahan dalam perubahan yang terjadi dari masa ke masa. Prinsip universal itu menunjukkan kesanggupannya untuk satu sisi mempertahankan semangat keIslamannya dan di sisi lain menyesuaikan aspek teknisnya dengan perkembangan zaman. Sebagaimana dapat dilihat dalam sejarahnya, pendidikan Islam memperlihatkan variasi dari satu periode ke periode lain, dan dari satu lokasi ke lokasi lain, tetapi dengan semangat keIslaman yang permanen.
Masa depan pendidikan Islam di Indonesia ditentukan baik oleh faktor internal maupun oleh faktor eksternal. Secara internal, dunia pendidikan Islam pada dasarnya masih menghadapi problem pokok berupa rendahnya kualitas sumberdaya manusia pengelola pendidikan. Hal ini terkait dengan program pendidikan dan pembinaan tenaga kependidikan yang masih lemah dan pola rekrutmen tenaga pegawai yang kurang selektif. Namun demikian, tren dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa penyelesaian atas masalah sumber daya manusia mengalami penanganan yang semakin baik. Di samping adanya usaha perbaikan pada lembaga-lembaga pendidikan kependidikan, sejak tiga tahun terakhir ini telah diselenggarakan program-program pelatihan dalam berbagai bidang dan profesi kependidikan, mulai dari pimpinan sekolah, pengelola administrasi dan keuangan, pustakawan, guru, tenaga bimbingan dan penyuluhan, pengawas, sampai dengan pengurus organisasi orang tua siswa. Dalam jangka panjang tenaga-tenaga yang terlatih itu akan menyebarkan pengetahuan dan keterampilannya kepada rekan sejawat sehingga secara bertahan akan meningkatkan kinerja lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah.
Secara eksternal, masa depan pendidikan Islam dipengaruhi oleh tiga isu besar; globalisasi, demokrasi dan liberalisasi Islam. Globalisasi tidak semata-mata mempengaruhi sistem pasar, tetapi juga sistem pendidikan. Penetrasi budaya global terhadap kehidupan masyarakat Indonesia akan direspon secara berbeda-beda oleh kalangan pendidikan: permisif, defensif, dan transfomratif. Kelompok pertama akan cenderung menerima begitu saja pola model budaya global yang dialirkan melalui teknologi informasi, tanpa memahami nilai dan substansinya. Sebaliknya, kelompok kedua akan apriori terhadap capaian budaya dan peradaban global, semata-mata karena ia tidak datang dari tradisi yang diikutinya selama ini. Sedangkan kelompok ketiga berusaha mendialogkan antara budaya global dengan budaya lokal sehingga terjadi sintesis budaya yang dinamis dan harmonis. (Maksum:1999). Visi Pendidikan Islam “agamis” populis, berkualitas dan beragam. Dalam masa yang cukup panjang, pendidikan Islam di Indonesia berada di persimpangan  jalan antara mempertahankan tradisi lama dan mengadopsi perkembangan baru. Upaya mempertahankan sepenuhnya tradisi lama berarti status quo yang menjadikannya terbelakang meskipun tercapai kepuasan emosional dan romantisme dengan identitas pendidikan masa lalu. Sementara itu, mengadopsi perkembangan baru begitu saja berarti mengesampingkan akar sejati dan nilai autentik dari sejarah pendidikan Islam. Walaupun berhasil memenuhi keperluan pragmatis untuk menjawab tantangan sesaat dari lingkungan sekitarnya. Situasi ini tercermin dalam kebingungan, maju-mundur, dan ketidakjelasan arah dan tujuan modernisasi pendidikan Islam selama ini. (Azim Nanji: 2003).
Jalan keluar dari situasi di atas menuntut adanya penegasan visi pendidikan Islam sehingga tidak tergoda oleh tarikan-tarikan ekstrim, tetapi mampu mengelola berbagai kecendrungan yang tersedia secara responsif dan tuntas. Visi itu ditempatkan sebagai pemandu yang Menjamin konsistensi pendidikan Islam dalam konteks perubahan dan dinamika yang terjadi dalam dirinya secara terus menerus. Kerangka visi pendidikan Islam itu harus dibangun dengan mempertimbangkan sumber nilai/ajaran Islam, karakter essensial dari sejarah pendidikan Islam, dan rumusan tantangan masa depan. Dengan kata lain, visi pendidikan Islam masa depan adalah terciptanya sistem pendidikan yang Islami, populis, berorientasi mutu, dan kebhinekaan.
Karakter Islami pada lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah dan sekolah merupakan identitas utama yang harus tercermin dalam kurikulum dan proses pendidikan. Berbeda dengan lembaga pendidikan sekuler, pendidikan Islam dilaksanakan dengan mengejawantahkan nilai dan ajaran Islam dalam kehidupan dan perilaku semua komponen pendidikan mulai dari pimpinan sampai dengan siswa. Karakter Islami, yang pertama dan utama, berarti kesadaran sebagai pribadi muslim untuk menjalankan secara konsisten perintah dan larangan agama dalam segala situasi dan kondisi, termasuk di lingkungan madrasah.
Selain itu, karakter Islami berarti orientasi pendidikan yang holistik dan tidak terbatas pada cita-cita praktis, karena menempatkan nilai-nilai spiritual dan transendental (ketuhanan) dalam proses pancapaian tujuan pendidikan. Karakter Islami juga berarti strategi pembelajaran keagamaan yang tidak verbalistik sehingga memudahkan siswa untuk memudahkan keterampilan dan wawasan ke-Islam-annya secara terpadu. Di samping ketiga makna di atas karakter Islami dari pendidikan Islam itu berarti ajakan dan seruan bagi lingkungan sekitar madrasah untuk meningkatkan syiar Islam melalui media pendidikan.
Karakter populis pada lembaga pendidikan Islam merupakan pesan utama dari sejarah pendidikan Islam di Indonesia dari masa ke masa. Sejak periode yang paling dini, pendidikan Islam lahir dan berkembang dengan dukungan masyarakat serta terbuka bagi semua lapisan sosial. Dalam banyak kasus, sekali mengabaikan watak populisnya lembaga pendidikan Islam akan mengalami kematian karena ditinggalkan oleh massa pendukungnya. Program keunggulan pendidikan Islam seperti madrasah model tidak dimaksudkan untuk membuat lembaga pendidikan itu bersifat ekslusif. Watak populis dari pendidikan Islam ini sangat relevan dengan tuntutan essensial ummat manusia sepanjang masa yang membutuhkan persaudaraan, saling kasih, dan semangat memberdayakan kaum tertindas. Dengan kata lain, pendidikan Islam hendaknya dilaksanakan dalam semangat yang merakyat sehingga melahirkan hasil pendidikan yang berprestasi dan sekaligus peduli dengan nasib sesama. Ciri lain dari visi pendidikan Islam masa depan adalah berorientasi pada mutu. Hal ini merupakan tantangan masa depan yang sangat nyata, karena penghargaan masyarakat terhadap sebuah lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kualitas pendidikannya. Kualitas pendidikan itu tercermin dalam dua tataran: proses pendidikan dan hasil pendidikan. Proses pendidikan menggambarkan suasana pembelajaran yang aktif dan dinamis serta konsisten dengan program dan target pembelajaran. Sedangkan hasil pendidikan menunjuk pada kualitas lulusan dalam bidang kognitif, affektif, dan psikomotorik. Jika gagal dalam mewujudkan visi ini, lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah, akan tertinggal dari lembaga-lembaga pendidikan lain.
Karakter keagamaan pada lembaga pendidikan Islam pada prinsipnya menunjukkan adanya fleksibilitas dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Praktek penyeragaman yang terjadi selama tiga dekade terakhir disadari telah mematikan kreatifitas pengelolaan dan pengembangan pendidikan Islam. Hal ini sekaligus bertentangan dengan watak populis yang meniscayakan adanya lembaga, model, dan pendekatan yang bervariasi sesuai dengan kompleksitas masyarakat. Pendidikan Islam hendaknya membiarkan dengan pengelolaan yang baik, tumbuh dan berkembangnya aneka ragam lembaga pendidikan Islam mulai dari pesantren, madrasah dan majelis taklim serta kelompok kajian. Dalam waktu yang bersamaan setiap lembaga pendidikan Islam hendaknya juga dibiarkan berkembang dalam keanekaragaman tipe, mulai dari madrasah umum/sekolah, madrasah kejuruan, madrasah keagamaan, sampai dengan madrasah model. Sementara itu dalam proses pembelajarannya, pendidikan Islam dapat mengembangkan berbagai strategi yang menjamin efektifitas pendidikan. Pola pendekatan yang tunggal akan menimbulkan kejenuhan siswa dalam belajar. Dan yang tidak kalah penting adalahmemberikan pemahaman kepada masyarakat tentang konsep ilmu supaya tidak ada lagi dikotomik. Hal ini perlu diberikan semenjak dini.